Sabtu, 25 Februari 2012

silsilah ki ageng pegging

'''Kyai Ageng Pengging''' adalah penguasa daerah [[Pengging]] (pusatnya berada di Desa [[Dukuh, Banyudono, Boyolali|Dukuh]], Kecamatan [[Banyudono, Boyolali]] sekarang) yang dihukum mati [[Kerajaan Demak]] pada masa pemerintahan [[Raden Patah]] karena dituduh memberontak.

== Asal-Usul Ki Ageng Pengging ==
Nama aslinya adalah '''Raden Kebo Kenanga'''. Kakaknya bernama Raden Kebo Kanigara. Keduanya adalah putra pasangan [[Andayaningrat]] dan [[Ratu Pembayun]].

Nama asli Andayaningrat adalah Jaka Sengara. Ia diangkat menjadi bupati Pengging karena berjasa menemukan [[Ratu Pembayun]] putri [[Brawijaya]] raja [[Majapahit]] (versi ''babad''), yang diculik Menak Daliputih raja [[Blambangan]] putra [[Menak Jingga]]. Jaka Sengara berhasil menemukan sang putri dan membunuh penculiknya.

Jaka Sengara kemudian menjadi Adipati/Raja Muda Pengging, bergelar Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging I (versi lain menyebutnya Jayaningrat). Kedua putranya menempuh jalan hidup yang berbeda. Kebo Kanigara yang setia pada agama lama meninggal saat bertapa di puncak [[Gunung Merapi]]. Sedangkan Kebo Kenanga masuk [[Islam]] di bawah bimbingan [[Syekh Siti Jenar]].

== Kebo Kenanga Menjadi Ki Ageng Pengging II ==
''Serat Kanda'' mengisahkan, [[Andayaningrat]] membela [[Majapahit]] saat berperang melawan [[Demak]]. Ia tewas di tangan [[Sunan Ngudung]] panglima pasukan [[Demak]] yang juga anggota [[Walisanga]]. Kebo Kenanga tidak ikut berperang karena takut menghadapi gurunya. Padahal, [[Syekh Siti Jenar]] sendiri tidak mendukung serangan [[Demak]].

Kebo Kenanga kemudian menjadi penguasa Pengging menggantikan ayahnya. Namun, ia tidak menjalani hidup mewah sebagaimana para bupati umumnya, melainkan hidup sebagai petani membaur dengan rakyatnya.

Menurut ''Serat Siti Jenar'', Kebo Kenanga bertemu [[Syekh Siti Jenar]] sesudah menjadi penguasa Pengging. Dikisahkan keduanya berdiskusi tentang persamaan agama [[Hindu]], [[Buddha]], dan [[Islam]]. Akhirnya, dicapai kesepakatan kalau ketiga agama tersebut pada hakikatnya sama, yaitu sama-sama menyembah [[Tuhan Yang Maha Esa]], hanya tata cara peribadatannya saja yang berbeda.

== Keluarga Ki Ageng Pengging ==
Ki Ageng Kebo Kenanga Pengging menikah dengan kakak perempuan Ki Ageng Butuh (murid [[Syekh Siti Jenar]] pula). Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama '''Mas Karebet'''.

Saat Karebet dilahirkan, Ki Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang yang didalangi kakak seperguruannya, yaitu Ki Ageng Tingkir. Sepulang mendalang, Ki Tingkir meninggal dunia. Kelak, sepeninggal Ki Ageng Pengging dan istrinya, Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir), sehingga setelah dewasa, Karebet pun dijuluki sebagai [[Jaka Tingkir]] dan mendirikan [[Kerajaan Pajang]]. Pendirian Pajang adalah sebagai usaha Jaka Tingkir, yang telah berhasil memperistri puteri raja [[Trenggana]], untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Demak menuju pedalaman Jawa. Hal inilah yang memunculkan teori berpindahnya corak kerajaan maritim ke agraris. Secara politis juga untuk menjauhkan diri dari kemungkinan sengketa dengan keturunan Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Penangsang.

== Kematian Ki Ageng Pengging ==
Menurut [[Babad Tanah Jawi]], Ki Ageng Pengging dicurigai [[Raden Patah]] hendak memberontak karena tidak mau menghadap ke [[Demak]]. Patih Wanapala (versi Serat Siti Jenar menyebut Patih Wanasalam) dikirim ke Pengging untuk menyampaikan teguran.

Waktu setahun berlalu dan Ki Pengging tetap menolak menghadap. Apalagi ia gencar mendakwahkan ajaran [[Syekh Siti Jenar]] yang dianggap sesat oleh pemerintah [[Demak]]. Maka, [[Sunan Kudus]] pun dikirim untuk menghukum mati Ki Ageng Pengging.

Setelah melalui perjalanan panjang, rombongan [[Sunan Kudus]] akhirnya tiba di Pengging. Ki Pengging merelakan kematiannya daripada harus menghadap [[Raden Patah]]. Akhirnya, ia pun meninggal dunia setelah titik kelemahannya, yaitu ujung siku, ditusuk keris [[Sunan Kudus]].

Menurut ''Serat Siti Jenar'', Ki Ageng Pengging Kebo Kenongo meninggal karena kemauannya sendiri. Sebelumnya, ia dikisahkan berhasil menyadarkan [[Sunan Kudus]] tentang ajaran [[Syekh Siti Jenar]] yang sebenarnya. Akhirnya, Ki Ageng Pengging meninggal dunia dengan caranya sendiri, bukan karena ditusuk [[Sunan Kudus]].

Pada intinya, kematian Ki Ageng Pengging disebabkan karena penolakannya terhadap pemerintahan [[Demak]]. Ia adalah murid terbaik [[Syekh Siti Jenar]], yaitu seorang wali yang mengajarkan kesederajatan manusia dan menolak basa-basi duniawi.

== Kepustakaan ==
* ''Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647''. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
* H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. ''Kerajaan Islam Pertama di Jawa''. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
* Moedjianto. 1987. ''Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram''. Yogyakarta: Kanisius
'''Kyai Ageng Pengging''' adalah penguasa daerah [[Pengging]] (pusatnya berada di Desa [[Dukuh, Banyudono, Boyolali|Dukuh]], Kecamatan [[Banyudono, Boyolali]] sekarang) yang dihukum mati [[Kerajaan Demak]] pada masa pemerintahan [[Raden Patah]] karena dituduh memberontak.

== Asal-Usul Ki Ageng Pengging ==
Nama aslinya adalah '''Raden Kebo Kenanga'''. Kakaknya bernama Raden Kebo Kanigara. Keduanya adalah putra pasangan [[Andayaningrat]] dan [[Ratu Pembayun]].

Nama asli Andayaningrat adalah Jaka Sengara. Ia diangkat menjadi bupati Pengging karena berjasa menemukan [[Ratu Pembayun]] putri [[Brawijaya]] raja [[Majapahit]] (versi ''babad''), yang diculik Menak Daliputih raja [[Blambangan]] putra [[Menak Jingga]]. Jaka Sengara berhasil menemukan sang putri dan membunuh penculiknya.

Jaka Sengara kemudian menjadi Adipati/Raja Muda Pengging, bergelar Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging I (versi lain menyebutnya Jayaningrat). Kedua putranya menempuh jalan hidup yang berbeda. Kebo Kanigara yang setia pada agama lama meninggal saat bertapa di puncak [[Gunung Merapi]]. Sedangkan Kebo Kenanga masuk [[Islam]] di bawah bimbingan [[Syekh Siti Jenar]].

== Kebo Kenanga Menjadi Ki Ageng Pengging II ==
''Serat Kanda'' mengisahkan, [[Andayaningrat]] membela [[Majapahit]] saat berperang melawan [[Demak]]. Ia tewas di tangan [[Sunan Ngudung]] panglima pasukan [[Demak]] yang juga anggota [[Walisanga]]. Kebo Kenanga tidak ikut berperang karena takut menghadapi gurunya. Padahal, [[Syekh Siti Jenar]] sendiri tidak mendukung serangan [[Demak]].

Kebo Kenanga kemudian menjadi penguasa Pengging menggantikan ayahnya. Namun, ia tidak menjalani hidup mewah sebagaimana para bupati umumnya, melainkan hidup sebagai petani membaur dengan rakyatnya.

Menurut ''Serat Siti Jenar'', Kebo Kenanga bertemu [[Syekh Siti Jenar]] sesudah menjadi penguasa Pengging. Dikisahkan keduanya berdiskusi tentang persamaan agama [[Hindu]], [[Buddha]], dan [[Islam]]. Akhirnya, dicapai kesepakatan kalau ketiga agama tersebut pada hakikatnya sama, yaitu sama-sama menyembah [[Tuhan Yang Maha Esa]], hanya tata cara peribadatannya saja yang berbeda.

== Keluarga Ki Ageng Pengging ==
Ki Ageng Kebo Kenanga Pengging menikah dengan kakak perempuan Ki Ageng Butuh (murid [[Syekh Siti Jenar]] pula). Dari perkawinan itu lahir seorang putra bernama '''Mas Karebet'''.

Saat Karebet dilahirkan, Ki Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang yang didalangi kakak seperguruannya, yaitu Ki Ageng Tingkir. Sepulang mendalang, Ki Tingkir meninggal dunia. Kelak, sepeninggal Ki Ageng Pengging dan istrinya, Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir), sehingga setelah dewasa, Karebet pun dijuluki sebagai [[Jaka Tingkir]] dan mendirikan [[Kerajaan Pajang]]. Pendirian Pajang adalah sebagai usaha Jaka Tingkir, yang telah berhasil memperistri puteri raja [[Trenggana]], untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Demak menuju pedalaman Jawa. Hal inilah yang memunculkan teori berpindahnya corak kerajaan maritim ke agraris. Secara politis juga untuk menjauhkan diri dari kemungkinan sengketa dengan keturunan Sekar Seda Lepen yang bernama Arya Penangsang.

== Kematian Ki Ageng Pengging ==
Menurut [[Babad Tanah Jawi]], Ki Ageng Pengging dicurigai [[Raden Patah]] hendak memberontak karena tidak mau menghadap ke [[Demak]]. Patih Wanapala (versi Serat Siti Jenar menyebut Patih Wanasalam) dikirim ke Pengging untuk menyampaikan teguran.

Waktu setahun berlalu dan Ki Pengging tetap menolak menghadap. Apalagi ia gencar mendakwahkan ajaran [[Syekh Siti Jenar]] yang dianggap sesat oleh pemerintah [[Demak]]. Maka, [[Sunan Kudus]] pun dikirim untuk menghukum mati Ki Ageng Pengging.

Setelah melalui perjalanan panjang, rombongan [[Sunan Kudus]] akhirnya tiba di Pengging. Ki Pengging merelakan kematiannya daripada harus menghadap [[Raden Patah]]. Akhirnya, ia pun meninggal dunia setelah titik kelemahannya, yaitu ujung siku, ditusuk keris [[Sunan Kudus]].

Menurut ''Serat Siti Jenar'', Ki Ageng Pengging Kebo Kenongo meninggal karena kemauannya sendiri. Sebelumnya, ia dikisahkan berhasil menyadarkan [[Sunan Kudus]] tentang ajaran [[Syekh Siti Jenar]] yang sebenarnya. Akhirnya, Ki Ageng Pengging meninggal dunia dengan caranya sendiri, bukan karena ditusuk [[Sunan Kudus]].

Pada intinya, kematian Ki Ageng Pengging disebabkan karena penolakannya terhadap pemerintahan [[Demak]]. Ia adalah murid terbaik [[Syekh Siti Jenar]], yaitu seorang wali yang mengajarkan kesederajatan manusia dan menolak basa-basi duniawi.

== Kepustakaan ==
* ''Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647''. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
* H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. ''Kerajaan Islam Pertama di Jawa''. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
* Moedjianto. 1987. ''Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram''. Yogyakarta: Kanisius

Jumat, 24 Februari 2012

Mbah Dalhar: Biografi Singkat Mbah Dalhar*

Biografi Singkat Mbah Dalhar*

Bagi masyarakat awam mungkin masih sangat asing dengan nama “Dalhar.” Namun hal itu mungkin tidak terjadi pada masyarakat Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Nama KH. Dalhar atau yang akrab disebut mbah Dalhar adalah nama yang tidak begitu asing bagi masyarakat perbatasan Jawa Tengah dan DIY tersebut. Mbah Dalhar adalah salah seorang ulama’ Desa Gunung Pring, Muntilan yang sedikit banyak ikut memperjuangan tegaknya Islam di tanah Jawa.
Mbah Dalhar lahir di komplek Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 12 Januari 1870 atau 10 Syawal 1286 H. Ketika lahir beliau diberi nama nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang da’i yang bernama Abdurrahman bin Abdurra’uf bin Hasan Tuqo.
Kiai Abdurra’uf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan “Raden Bagus Kemuning.”
Diceritakan bahwa Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton Yogyakarta karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan juga diketahui bahwa beliau hidup menyepi di daerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama Desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurra’uf juga mengikuti jejak sang ayah yaitu senang mempelajari ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan panglima untuk bersama memerangi penjajah Belanda, Abdurra’uf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari VOC. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya sangat strategis untuk penguasaan wilayah lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan orang-orang yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan semangat jihad di masyarakat. Melihat kelebihan yang dimiliki serta beratnya perjuangan waktu itu maka dipilihlah Abdurra’uf untuk diserahi tugas mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurra’uf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau kemudian mendirikan sebuah pesantren di sana.
Pesantren Kiai Abdurra’uf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara di tempat yang sekarang dikenal dengan Dukuh Santren. Lokasinya masih berada di desa Gunung Pring.
Ketika sudah dewasa, Nahrowi juga ikut meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser ke arah sebelah barat di tempat yang sekarang bernama Watu Congol.
Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam lingkungan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kecilnya beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu agama kepada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Dalhar mulai belajar di pesantren. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul-begitu sebutan masyhurnya- di Dukuh Bawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Di sini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih selama dua tahun.
Sesudah dari Salaman, saat itu berusia 15 tahun, mbah Dalhar dititipkan oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi, Somalangu, Kebumen. selama delapan tahun beliau diasuh oleh Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang memiliki julukan Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh.
Sekitar tahun 1896 (tahun 1314H), mbah Dalhar diminta oleh gurunya untuk menemani putera tertuanya, yaitu Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani belajar ke Makkah. Putra gurunya itu belajar kepada mufti syafi’iyah, Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani).
Perjalanan ke tanah suci waktu itu menggunakan kapal laut. Beliau berdua berangkat melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian sampai di Semarang, saking ta’dzimnya, mbah Dalhar kepada putera gurunya itu, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan santri ayahnya itu agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Dalhar.
Sesampainya di Makkah, mbah Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani di daerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam perjalanan ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama tiga bulan karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama setempat untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Dalhar tetap belajar di Tanah Suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Di mana Nahrowi adalah nama asli beliau, dan Dalhar adalah nama yang diberikan oleh gurunya itu. Dalam perjalanan selanjutnya, nama mbah “dalhar” ini lebih masyhur daripada nama lengkap beliau, yaitu Nahrowi Dalhar.
Ketika berada di Makkah inilah mbah Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Di mana kedua ijazah ini di kemudian hari menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di pulau Jawa.
Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidir As. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidir karena begitu dekatnya dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah SWT ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di Tanah Suci, mbah Dalhar pernah melakukan khalwat selama tiga tahun di suatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan tiga buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhah-nya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama di tanah suci, mbah Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk membuatng hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Dalhar dapat mencapai tiga hari tiga malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut KH Ahmad Abdul Haq, salah seorang putra Mbah Dalhar, beliau mbah Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada tiga orang, yaitu kiai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan putranya sendiri, KH Ahmad Abdul Haq.
Meninggalkan tidur malam (Sahrallayal) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Dalhar mempunyai banyak karamah. Dua keistimewaan yang dimiliki antara lain, suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara dan mengetahui makam–makam kekasih Allah (auliyaillah) yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar di mana beliau–beliau tersebut pernah bertempat tinggal.
Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Di mana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920–1959. Di antaranya adalah Gus Miek, KH. Mahrus (Lirboyo), KH Dimyathi (Banten), KH Marzuki (Giriloyo), dan masih banyak lainnya.
Gus Miek datang ke Watucongol sekitar tahun 1954. Gus Miek tidak langsung mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di kolam pondok yang dijadikan tempat pemandian. Hal itu sering dilakukannya pada setiap datang di Watucongol kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat para santri mandi dan mencuci pakaian membuat Gus Miek terlihat seperti orang gila bagi orang yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan dengan hanya datang dan memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui mbah Dalhar dan meminta izin untuk belajar.
Singkat cerita, mbah Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijazah (verifikasi) amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada mbah Dalhar, terutama dalam hal kapasitasnya sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al Qur’an. Gus Miek juga seolah ingin mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid, dan seorang pengajar Al Qur’an.
Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, mbah Dalhar selalu menyuruhnya membaca Al Fatihah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, gurunya itu menyuruhnya untuk mengamalkan Al Fatihah.
Mbah Dalhar, bagi Gus Miek, adalah satu-satunya orang yang dianggap sebagai guru dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selama berada di Watucongol, Gus Miek dengan telaten selalu membersihkan terompah (sandal) dan menatanya agar lebih mudah dipakai ketika mbah Dalhar pergi ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu dilakukan sebagai upayanya untuk belajar istiqamah (konsisten). Sebab istiqamah, menurut ajaran KH. Djazuli, ayahnya, adalah lebih utama dari 1000 karomah.
Kegiatan Gus Miek di pesantren Watucongol selain mengaji Al Qur’an, juga sering bepergian ke pasar-pasr, tempat hiburan, dan mengadu ayam jago. Kebiasaan ini membuat Gus Miek sering berhadapan dengan Gus Mad, putra mbah Dalhar, yang itu memegang tanggung jawab sebagai keamanan pondok.
Pernah Gus Miek menyuruh beberapa gus di Kediri agar segera belajar di tempat mbah Dalhar karena beliau akan meninggal. Semua berbondong ke tempat mbah Dalhar. Saat itu, Gus Miek menyatakan bahwa gurunya itu akan meninggal sekitar tanggal 23 Ramadhan 1959. Tapi begitu semua datang ke Watucongol, ternyata mbah. Dalhar masih sehat. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih tiga tahun, Mbah Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1378 H atau bertepatan dengan 8 April 1959 M.
*Sumber tulisan ini dari salah seorang keturunan Mbah dalhar yang bernama Fulan binti Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.

Ki ageng mangir legenda tokoh


Situs-Situs

JEJAK-JEJAK KEKUASAAN SENAPATI ATAS MANGIR
Mangir pada hakikatnya adalah sebuah dusun, tepatnya berada di sebelah selatan Kota Yogyakarta (+ 20 km). Jarak Mangir dari Kotagede kurang lebih juga 20-an km. Mangir terbagi atas tiga wilayah yang lebih kecil, yakni Mangir Lor, Mangir Tengah, dan Mangir Kidul. Tiga nama Mangir ini masuk dalam wilayah Desa/Kalurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Posisi wilayah Mangir agak masuk ke sisi sebelah barat daya Kabupaten Bantul dengan kondisi alam yang relatif subur di bagian tengah dan perbukitan kapur di sisi selatan. Meskipun daerahnya agak menjorok ke dalam, tetapi lokasi Mangir dapat dicapai dengan kendaraan bermesin karena jalan-jalan penghubungnya sudah banyak yang dibangun dengan baik dan beraspal.
Mangir pada zamannya tidak pernah merasa perlu tunduk di bawah kekuasaan siapa pun (baik Pajang maupun Mataram). Wilayah ini pada zamannya barangkali tidak berbeda jauh dengan wilayah Mataram pada zaman Senapati. Barangkali pula Mangir masih meneruskan tradisi Majapahit, yakni sebagai sebuah wilayah perdikan sehingga secara tradisi pula Mangir bebas dari pajak dan berhak penuh mengelola dirinya sendiri. Bedanya, Mangir tidak pernah meluaskan wilayahnya seperti Mataram. Apabila Mataram biasa disebut sebagai sebuah kerajaan, maka pantas pulalah kalau Mangir pun pada zamannya disebut sebagai sebuah kerajaan.
Kebesaran Mangir barangkali dapat dilihat dari wilayahnya yang meliputi tiga dusun tersebut (bahkan dalam cerita tutur disebutkan bahwa kademangan di sekitar Mangir pun menyatakan diri sebagai pengikut Mangir, seperti Kademangan Pajangan, Kademangan Tangkilan, Kademangan Pandak, Kademangan Paker, Kademangan Jlegong) . Di samping itu, di Dusun Mangir Tengah juga ditemukan sebuah dhampar 'tempat duduk raja/ petinggi/pemimpin suatu daerah'. Dhampar berukuran sekitar 1 x 1 meter persegi dengan ketinggian sekitar 30-40 cm yang terbuat dari batu andesit tersebut sampai sekarang masih dirawat baik oleh penduduk setempat. Di samping dhampar tersebut, hampir di seluruh Dusun Mangir ditemukan puing-puing batu bata dan batu putih yang diyakini sebagai sisa-sisa bangunan/pagar/benteng Kerajaan Mangir. Lingga dan yoni dalam bentuk relatif masih utuh pun ditemukan di sana. Demikian pula lembu Nandhi. Temuan-temuan di atas mengindikasikan bahwa pada awalnya wilayah Mangir atau paling tidak pemimpinnya, mempunyai kepercayaan Hindu.
Dua Buah Makam Ki Ageng Mangir
Awam umumnya mengenal bahwa makam Ki Ageng Mangir berada di kompleks makam Kotagede. Akan tetapi sebagain kecil masyarakat meyakini bahwa makam Ki Ageng Mangir berada di Dusun Saralaten, Sidakarta, Godean, Sleman, Yogyakarta. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi di kalangan masyarakat. Spekulasi yang pertama menduga bahwa makam Ki Ageng Mangir di Kotagede adalah makam yang dibuat dengan tujuan politis. Makam Mangir di Kotagede dibuat demikian unik. Setengah batu nisannya berada di luar pagar kompleks makam dan yang lainnya berada di dalam. Hal ini dimaksudkan oleh Senapati sebagai pengakuan atas Mangir sebagai menantu (dilambangkan dengan batu nisan yang berada di dalam tembok) dan sekaligus sebagai musuh (dilambangkan dengan batu nisan yang berada di luar pagar tembok).
Dengan demikian, peristiwa atas pembunuhan putra menantu sendiri yang dilakukan oleh Senapati menjadi kelihatan sah. Di samping itu, Senapati pun merasa sah pula mengakui musuhnya sebagai menantu. Dari sisi politis menjadi demikian jelas bahwa Senapati tidak segan-segan melakukan pembersihan terhadap siapa pun, termasuk putra menantu.
Spekulasi kedua atas fenomena makam Mangir di Dusun Saralaten, Sidakarta, Godean, Sleman meyakini bahwa Ki Ageng Mangir yang dibunuh oleh Senapati itu tidak dimakamkan di Kotagede. Dalam cerita tutur dikatakan bahwa jenazah Ki Ageng Mangir dikeluarkan melalui pintu belakang Keraton Mataram lalu dibawa oleh Demang Tangkilan pulang ke daerahnya (Tangkilan, nama sebuah dusun yang terletak di sebelah timur Dusun Saralaten, Godean). Pada masa itu Saralaten barangkali masih berada di bawah pemerintahan Kademangan Tangkilan, Oleh Demang Tangkilan inilah jenazah Ki Ageng Mangir dikuburkan di wilayahnya. Persoalannya kemudian adalah mengapa jenazah itu tidak dikuburkan di Mangir oleh Demang Tangkilan. Dugaan yang dapat diajukan atasnya barangkali adalah karena Demang Tangkilan tidak berani menolak perintah Senapati untuk menguburkan Mangir di wilayahnya. Dugaan yang lain adalah karena setelah pembunuhan Mangir kemungkinan besar Senapati terus melakukan pembersihan dan penghancuran Mangir. Hal demikian biasa dilakukan oleh pembesar-pembesar masa itu karena merasa kedudukannya akan menjadi terancam di kemudian hari oleh saudara, kerabat, dan anak keturunan dari bekas musuhnya. Oleh karena itu, prinsip babat habis sampai ke akar-akarnya sering diterapkan penuh.
Dugaan yang kedua ini diperkuat pula oleh banyaknya orang yang bersimpati/yang masih merasa keturunan Mangir yang kemudian selalu melakukan ziarah ke makam Saralaten dan justru bukan di Kotagede. Makam Saralaten ini konon ditemukan pertama kali oleh Bapak Soewarno pada tahun 1969. Pada saat ditemukan masih merupakan gundukan batu bata yang tertutup rumput. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana pembuktian makam itu sebagai makam Ki Ageng Mangir. Hanya diceritakan bahwa Bapak Soewarno pada masa hidupnya demikian penasaran dan tekun mencari-cari lokasi makam Ki Ageng Mangir. Dipercaya pula bahwa penemuan makam tersebut dilandasi juga dengan laku spiritual. Keyakinan Bapak Soewarno atas makam Saralaten ini dibuktikan pula dengan pemugaran yang dilakukan pada tahun 1976 sehingga makam tersebut menjadi kelihatan megah dan bersih.
Tiga Tokoh Ki Ageng Mangir Wanabaya
Dalam buku-buku sejarah tidak pernah disebutkan dengan jelas siapakah tokoh Ki Ageng Mangir. Dalam buku sejarah versi De Graaf pun (Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Awal Kebangkitan Mataram, Puincak Kekuasaan Mataram, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, dan Runtuhnya Istana Mataram) nama Mangir tidak pernah disebut sama sekali. Nama Mangir justru terkenal di dalam cerita tutur dan buku Babat Mangir
Dalam Babat Mangir disebutkan paling tidak ada tiga tokoh yang menggunakan nama Mangir. Dalam tulisan ini akan digunakan penomoran untuk membedakan tokoh-tokoh yang semuanya menggunakan nama Mangir. Mangir I adalah putra Radyan Alembumisani, seorang pelarian dari Kerajaan Majapahit. Konon Radyan Alembumisani adalah putra Brawijaya yang melarikan diri dari majapahit karena serbuan tentara Demak. Ketika muda Mangir I ini diberi nama Radyan Wanabaya. Radyan Wanabaya (Mangir I) inilah yang kemudian tinggal di Mangir sehingga ia terkenal dengan nama Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Ki Ageng Mangir Wanabaya I kawin dengan seorang putri dari Juwana. Dari perkawinan tersebut lahirlah Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Di samping itu, Ki Ageng Mangir I juga mempunyai anak dari seorang gadis, putri dari Demang Jalegong. Perkawinan Ki Ageng Mangir Wanabaya I dengan Rara Jalegong konon melahirkan seorang anak yang berupa ular (demikian disebut-sebut dalam babad dan cerita tutur). Anak yang kelak terkenal dengan nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tumbak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.
Dalam persepsi Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Drama Mangir, Baruklinting dipersonifikasikan sebagai pemuda yang pandai menghimpun massa dan ahli strategi perang. Barangkali apa yang dipersepsikan Pram tidak meleset jauh mengingat cerita tutur Jawa dan babad sering demikian banyak dibumbui cerita-cerita yang berbau mitos, sandi, sanepa 'perumpamaan/teka-teki', dan legenda.
Ki Ageng Mangir Wanabaya II kelak kawin dengan seorang gadis, putri dari Demang Paker. Dari perkawinan ini lahirlah Ki Ageng Mangir Wanabaya III. Ki Ageng Mangir Wanabaya III inilah yang kelak meneruskan sifat-sifat ayah maupun kakeknya untuk tidak tunduk pada pemerintahan Pajang maupun Mataram. Ia pulalah yang kemudian mewarisi tumbak Kiai Baru.
Seperti apa yang dikemukakan Pram, sangat logislah bahwa putra Ki Ageng Mangir I dengan Rara Jalegong tetaplah berupa manusia juga. Manusia itu diberi nama Baruklinting. Hanya karena ia lahir dari seorang wanita yang tidak dinikah, maka dalam cerita babad ia digambarkan sebagai ular. Kesaktian yang terletak di lidahnya diidentikkan oleh Pram sebagai lidah yang demikian micara 'semacam ahli pidato/diplomasi' dan ahli strategi. Kepandaiannya berdiplomasi mengakibatkan Baruklinting mudah menghimpun massa. Tidak aneh apabila kemudian ia menjadi sosok yang demikian diandalkan oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya II (saudara tirinya) dan Ki Ageng Mangir Wanabaya III pada zaman berikutnya (dalam versi Babad Mangir I diceritakan bahwa Baruklinting tewas begitu dipotong lidahnya oleh ayahnya. Sukma Baruklinting kemudian diperintahkan untuk tinggal di Rawapening oleh ayahnya).
Pada masa kepemimpinan Ki Ageng Mangir Wanabaya III inilah Senapati melakukan aneksasi dengan jalan halus (siasat perkawinan) dan kasar (peperangan-perampasan). Dalam babad diceritakan bahwa kehendak untuk menghancurkan Mangir dari semula memang sudah tumbuh di hati Senapati. Ki Mandaraka menganjurkan supaya Mangir ditaklukkan dengan cara halus. Dengan demikian biaya perang bisa dihemat, korban jiwa dan harta tidak banyak yang jatuh. Siasat itu berhasil setelah Senapati mengumpankan putrinya sendiri yang bernama Rara Pembayun agar dapat dikawin oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya III. Melalui Rara Pembayun itu pula Ki Ageng Mangir Wanabaya III menjadi bersikap sedikit lunak kepada Senapati (Mataram). Kelunakan hati Mangir III ini ditunjukkan dengan kesediaan Mangir III menghadap ke Mataram. Ketika menghadap itulah ia dihabisi oleh Senapati.
Untuk menunjukkan pengakuan menantu sekaligus musuh atas Mangir III ini konon Senapati membuat makam dengan separoh batu nisan berada di luar pagar tembok dan separo lainnya berada di dalam tembok kompleks makam Kotagede. Belum diketahui dengan jelas siapakah sesungguhnya yang membangun makam Mangir III di Kotagede itu. Apakah memang Senapati ataukah raja-raja Mataram setelah Senapati.
Sartono Kusumaningrat
Daftar Pustaka
Ananta Toer, Pramoedya, 2000, Drama Mangir, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Anonim, 1980, Babad Mangir I, Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Anonim, 1941, Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi
ing Taoen 1647, Leiden: M. Nijhoff-s'Gravenhage.
De Graaf, H.J., 1986, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.
------------------, 1987, Awal Kebangkitan Mataram, Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.
Sriwibawa, Soegiarta, 1976, Babad Tanah Jawi Jilid I, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
------------------, 1977, Babad Tanah Jawi Jilid II, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

KETOKOHAN WO TOPAWIRO

Pada kurun tahun 1890an ketokohan Wo Topawiro mulai mencuat, dari sebuah kampung kecil bernama Sanggrahan di kelurahan Maguwoharjo Depok Sleman. Pada masa itu masyarakat asli dusun ini masih penuh dengan suasana kehidupan yang jauh dari akidah dan peradapan Islam, sampai pada saat seorang pendatang yang bernama To Pawiro mulai singgah di dusun ini. Wo Topawiro muda sebagai pendatang yang konon berasal dari sebuah daerah bernama pondok Wonolelo dan masih mempunyai garis keturunan Ki Ageng Wonolelo.Ki Ageng Wonolelo adalah cucu dari syekh Dumadil Qubro atau lazim juga disebut Pangeran Blancak Ngilo.Atau cucu buyut dari kanjeng Sunan Lawu. Ayah Ki Ageng Wonolelo adalah Syeh Kaki, salah satu dari dua anak Pangeran Blancak Ngilo.Saudara Syeh kaki adalah Syeh Bela Belu. Sedang dua saudara Ki Ageng wonolelo adalah Syeh Wasibageno atau lebih terkenal dengan sebutan Ki ageng Gribig jatinom Klaten dan Panembahan Bodo pandak Bantul.Wo To Pawiro dalam membangun akidah keislaman di dusun Sangrahan mendapat dukungan dari para Ulama dan kiyai pada waktu itu antara lain Para ulama dari Bani Tanjung dan Khasan Tafsir Plosokuning seperti K..Hasyim bin Khasan Tafsir, KH. Muhdi Bin Khasan tafsir, K. Zein bin Khasan Tafsir dan juga para Ulama dari Desa Wotgaleh Bangun tapan Bantul. Jalinan kedekatan tokoh-tokoh tersebut masih mengakar sampai pada keturunan-keturunannya hingga saat ini . Dari sekian Karya monumentalnya adalah  berdirinya sebuah Masjid Hidayatullah yang merupakan salah Satu masjid tertua di Desa Maguwoharjo. Masjid ini didirikan di atas`tanah wakaf milik beliau. yang kira-kira dibangun akhir tahun 1920an dan pengembangan tahap pertama pada tahun 1937.Masjid ini menjadi saksi bisu perjuangan akidah keisalaman dan juga perjuangan kemerdekaan RI atas penjajahan Belanda dan jepang pada saat itu. Hal ini ditandai dengan adanya sebuah lonceng rampasan dari benteng pertahanan Belanda di daerah Adisutjipto yang berhasil dirampas dan kemudian di jadikan monumen Lonceng di komplek Masjid Hidayatullah ini . Lonceng berdiameter hampir 40 Cm dan berat mencapai 80kg lengkap dengan rantainya sebesar pergelangan tangan manuasia dewasa biasa dibunyikan pada waktu-waktu tertentu seperti tanda dimulainya Puasa Ramadhan dan perayaan hari-hari besar Islam. Kiyai Topawiro konon mempunyai kemampuan linuweh antara lain hapal dengan jejak kaki setiap orang yang pernah bertemu dengannya, sehinggga sangat pantas jika kemudian beliau diceritakan berprofesi sebagai penjaga sebuah kawasan  pertanian yang pada masa itu menjadi aset penting dikala masyarakat masih sulit dalam hal pemenuhan sandang pangan dan papan. Dari pengakuan saksi yang masih hidup pada saat ini, jika terjadi sebuah kasus pencurian maka tidak jarang pasti akan dengan cepat diketemukan pelakunya hanya dengan menghadirkan Wo Topawiro, tentu dengan metode hanya dengan mengukur jejak kaki yang ditingalkan pelaku selanjutnya secara luar biasa dapat diketahui siapa pemilik jejak kaki tersebut. Wo To Pawiro mempunyai 4 orang anak 2 laki-laki dan 2 orang perempuan. Karena barokah dan fadhilah  Wo To Pawiro yang selalu dekat dengan para Ulama dan Kiyai, alkhamdulillah dari 4 orang anak ini muncul sekar-sekar To pawiro muda yang menjadikan mereka tetap menjadi tokoh-tokoh sentral yang mempunyai andil besar di wilayahnya masing-masing dalam rangka melanjutkan perjuangan menjaga akidah ke-Islaman dan Risalah Nabi Muhammad SAW sebagaimana perjuangan leluhurnya. (di post kan oleh cicit Wo To Pawiro)