Jumat, 24 Februari 2012

KETOKOHAN WO TOPAWIRO

Pada kurun tahun 1890an ketokohan Wo Topawiro mulai mencuat, dari sebuah kampung kecil bernama Sanggrahan di kelurahan Maguwoharjo Depok Sleman. Pada masa itu masyarakat asli dusun ini masih penuh dengan suasana kehidupan yang jauh dari akidah dan peradapan Islam, sampai pada saat seorang pendatang yang bernama To Pawiro mulai singgah di dusun ini. Wo Topawiro muda sebagai pendatang yang konon berasal dari sebuah daerah bernama pondok Wonolelo dan masih mempunyai garis keturunan Ki Ageng Wonolelo.Ki Ageng Wonolelo adalah cucu dari syekh Dumadil Qubro atau lazim juga disebut Pangeran Blancak Ngilo.Atau cucu buyut dari kanjeng Sunan Lawu. Ayah Ki Ageng Wonolelo adalah Syeh Kaki, salah satu dari dua anak Pangeran Blancak Ngilo.Saudara Syeh kaki adalah Syeh Bela Belu. Sedang dua saudara Ki Ageng wonolelo adalah Syeh Wasibageno atau lebih terkenal dengan sebutan Ki ageng Gribig jatinom Klaten dan Panembahan Bodo pandak Bantul.Wo To Pawiro dalam membangun akidah keislaman di dusun Sangrahan mendapat dukungan dari para Ulama dan kiyai pada waktu itu antara lain Para ulama dari Bani Tanjung dan Khasan Tafsir Plosokuning seperti K..Hasyim bin Khasan Tafsir, KH. Muhdi Bin Khasan tafsir, K. Zein bin Khasan Tafsir dan juga para Ulama dari Desa Wotgaleh Bangun tapan Bantul. Jalinan kedekatan tokoh-tokoh tersebut masih mengakar sampai pada keturunan-keturunannya hingga saat ini . Dari sekian Karya monumentalnya adalah  berdirinya sebuah Masjid Hidayatullah yang merupakan salah Satu masjid tertua di Desa Maguwoharjo. Masjid ini didirikan di atas`tanah wakaf milik beliau. yang kira-kira dibangun akhir tahun 1920an dan pengembangan tahap pertama pada tahun 1937.Masjid ini menjadi saksi bisu perjuangan akidah keisalaman dan juga perjuangan kemerdekaan RI atas penjajahan Belanda dan jepang pada saat itu. Hal ini ditandai dengan adanya sebuah lonceng rampasan dari benteng pertahanan Belanda di daerah Adisutjipto yang berhasil dirampas dan kemudian di jadikan monumen Lonceng di komplek Masjid Hidayatullah ini . Lonceng berdiameter hampir 40 Cm dan berat mencapai 80kg lengkap dengan rantainya sebesar pergelangan tangan manuasia dewasa biasa dibunyikan pada waktu-waktu tertentu seperti tanda dimulainya Puasa Ramadhan dan perayaan hari-hari besar Islam. Kiyai Topawiro konon mempunyai kemampuan linuweh antara lain hapal dengan jejak kaki setiap orang yang pernah bertemu dengannya, sehinggga sangat pantas jika kemudian beliau diceritakan berprofesi sebagai penjaga sebuah kawasan  pertanian yang pada masa itu menjadi aset penting dikala masyarakat masih sulit dalam hal pemenuhan sandang pangan dan papan. Dari pengakuan saksi yang masih hidup pada saat ini, jika terjadi sebuah kasus pencurian maka tidak jarang pasti akan dengan cepat diketemukan pelakunya hanya dengan menghadirkan Wo Topawiro, tentu dengan metode hanya dengan mengukur jejak kaki yang ditingalkan pelaku selanjutnya secara luar biasa dapat diketahui siapa pemilik jejak kaki tersebut. Wo To Pawiro mempunyai 4 orang anak 2 laki-laki dan 2 orang perempuan. Karena barokah dan fadhilah  Wo To Pawiro yang selalu dekat dengan para Ulama dan Kiyai, alkhamdulillah dari 4 orang anak ini muncul sekar-sekar To pawiro muda yang menjadikan mereka tetap menjadi tokoh-tokoh sentral yang mempunyai andil besar di wilayahnya masing-masing dalam rangka melanjutkan perjuangan menjaga akidah ke-Islaman dan Risalah Nabi Muhammad SAW sebagaimana perjuangan leluhurnya. (di post kan oleh cicit Wo To Pawiro)

3 komentar:

  1. usul, gimana kalo sekeluarga bikin kitab silsilah, biar silaturahminya terjaga sampe anak cucu :)

    BalasHapus